


sejarah islam di indonesia
IX-A
|
||||
|

Kata Pengantar
Puji
dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah S.W.T
yang telah memberikan kenikmatan serta kesehatan kepada kita semua dan sholawat
serta salam kita curahkan kepada nabi Muhammad S.A.W beserta keluarga dan para
tabi’in-tabi’nnya. Alhamdulillah berkat rahmat dan hidayah-Nya kami mampu membereskan
tugas yang menjadi tanggung jawab kami yaitu dapat menyelsaikan laporan Book
Rapotini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya.
Saat ini, kita telah memasuki dan hidup
dalam era globalisasi, yang penuh dengan tantangan serta rintangan. Di zaman seperti
sekarang ini, orang yang tidak kuat pada keimanya akans angat terpengaruh oleh budaya
luar yang sekarang ini semakin mencuat di masyarakat
Makalah
ini berisi tentang sejarah islam di nusantara yang mungkin di dewasa ini sudah
hampir dilupakan, namun terlepas dari itu masih banyak juga yang mengetahuinya.
Dan makalah ini diupayakan agar dapat memotivasi para pembaca lewat kata-kata
tentang peninggalan atau sejarah islam di nusantara.
Disusun tanggal, 19 maret 2014
Tertanda
…………………………..
Kelompok 2
Daftar isi
·
Latar belakang
....................................................................................................................................................
·
Rumusan masalah
..............................................................................................................................................
·
Tujuan
.................................................................................................................................................................
·
Penyebaran islam dinusantara .............................................................................................................................
·
1 Awal
sejarah
.....................................................................................................................................................
·
2 Menurut
wilayah
................................................................................................................................................
o
2.1 Malaka ..................................................................................................................................................
o
2.2 Sumatera
Utara ....................................................................................................................................
o
2.3 Jawa
Tengah dan Jawa Timur
.............................................................................................................
o
2.4 Jawa
Barat
...........................................................................................................................................
o
2.5 Daerah
lain
...........................................................................................................................................
·
6 Referensi ..........................................................................................................................................................
LATAR BELAKANG
Dengan
melihat dikalangan masyarakat, bahwa kini masyarakat kurang mengetahui sejarah
islam masuk ke indonesia, maka dengan ini kami ingin mencoba membantu untuk
mengingat kembali lewat makalh yang mungkin tak sempurna ini tapi semoga dengan
ketidak sempurnaan dapat diambil kesimpulan.
Penyebaran
Islam didorong oleh meningkatnya jaringan
perdagangan di luar Nusantara. Pedagang dan bangsawan
dari kerajaan besar Nusantara biasanya adalah yang pertama mengadopsi Islam.
Kerajaan yang dominan, termasuk Kesultanan Mataram (di Jawa Tengah sekarang), dan Kesultanan Ternate dan Tidore di Kepulauan Maluku di timur. Pada akhir abad
ke-13, Islam telah berdiri di Sumatera
Utara,
abad ke-14 di timur laut Malaya, Brunei, Filipina selatan, di antara beberapa
abdi kerajaan di Jawa
Timur,
abad ke-15 di Malaka dan wilayah lain dari Semenanjung Malaya (sekarang Malaysia). Meskipun diketahui bahwa
penyebaran Islam dimulai di sisi barat Nusantara, kepingan-kepingan bukti yang
ditemukan tidak menunjukkan gelombang konversi bertahap di sekitar setiap
daerah Nusantara, melainkan bahwa proses konversi ini rumit dan lambat.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Memenuhi tugas pendidikan agama islam!
2.
Mengingatkan kembali pandangan tentang sejarah islam di
indonesia
TUJUAN
1.
Untuk mengingatkan kembali sejarah islam di indonesia
2.
Memenuhi
tugas mata pelajaran Pendidikan Agama Islam
Penyebaran Islam di
Nusantara
Penyebaran Islam di
Nusantara adalah proses menyebarnya agama Islam di Nusantara (sekarang Indonesia). Islam dibawa ke Nusantara
oleh pedagang dari Gujarat, Indiaselama abad ke-11, meskipun Muslim telah mendatangi Nusantara
sebelumnya.[rujukan?] Pada akhir abad ke-16,
Islam telah melampaui jumlah penganut Hindu danBuddhisme sebagai agama dominan
bangsa Jawa dan Sumatra. Bali mempertahankan mayoritas
Hindu, sedangkan pulau-pulau timur sebagian besar tetap menganutanimisme sampai abad 17 dan 18
ketika agama Kristen menjadi dominan di daerah
tersebut.
Penyebaran Islam didorong
oleh meningkatnya jaringan
perdagangan di luar Nusantara. Pedagang dan bangsawan
dari kerajaan besar Nusantara biasanya adalah yang pertama mengadopsi Islam.
Kerajaan yang dominan, termasuk Kesultanan Mataram (di Jawa Tengah sekarang), dan Kesultanan Ternate dan Tidore di Kepulauan Maluku di timur. Pada akhir abad
ke-13, Islam telah berdiri di Sumatera
Utara,
abad ke-14 di timur laut Malaya, Brunei, Filipina selatan, di antara beberapa
abdi kerajaan di Jawa
Timur,
abad ke-15 di Malaka dan wilayah lain dari Semenanjung Malaya (sekarang Malaysia). Meskipun diketahui bahwa
penyebaran Islam dimulai di sisi barat Nusantara, kepingan-kepingan bukti yang
ditemukan tidak menunjukkan gelombang konversi bertahap di sekitar setiap
daerah Nusantara, melainkan bahwa proses konversi ini rumit dan lambat.
Meskipun menjadi salah satu
perkembangan yang paling signifikan dalam sejarah Indonesia, bukti sejarah
babak ini terkeping-keping dan umumnya tidak informatif sehingga pemahaman
tentang kedatangan Islam ke Indonesia sangat terbatas. Ada perdebatan di antara
peneliti tentang apa kesimpulan yang bisa ditarik tentang konversi masyarakat
Nusantara kala itu.[1]:3 Bukti utama, setidaknya
dari tahap-tahap awal proses konversi ini, adalah batu
nisan dan beberapa kesaksian peziarah, tetapi bukti
ini hanya dapat menunjukkan bahwa umat Islam pribumi ada di tempat tertentu
pada waktu tertentu. Bukti ini tidak bisa menjelaskan hal-hal yang lebih rumit
seperti bagaimana gaya hidup dipengaruhi oleh agama baru ini, atau seberapa
dalam Islam mempengaruhi masyarakat. Dari bukti ini tidak bisa diasumsikan, bahwa karena penguasa
saat itu dikenal sebagai seorang Muslim, maka proses Islamisasi daerah itu
telah lengkap dan mayoritas penduduknya telah memeluk Islam; namun proses
konversi ini adalah suatu proses yang berkesinambungan dan terus berlangsung di
Nusantara, bahkan tetap berlangsung sampai hari ini di Indonesia modern.
1. Awal sejarah

Sebelum Islam mendapat
tempat di antara masyarakat Nusantara, pedagang Muslim telah hadir selama
beberapa abad. SejarawanMerle
Ricklefs (1991) mengidentifikasi dua proses tumpang
tindih dimana Islamisasi Nusantara terjadi: antara orang Nusantara mendapat
kontak dengan Islam dan dikonversi menjadi muslim, dan/atau Muslim Asia asing (India, China, Arab, dll) menetap di Nusantara
dan bercampur dengan masyarakat lokal. Islam diperkirakan telah hadir di Asia Tenggara sejak awal era Islam. Dari
waktu khalifah ketiga Islam, 'Utsman' (644-656) utusan dan
pedagang Muslim tiba di China dan harus melewati rute laut Nusantara, melalui
Nusantara dari dunia Islam. Melalui hal inilah kontak utusan Arab antara tahun
904 dan pertengahan abad ke-12 diperkirakan telah terlibat dalam negara
perdagangan maritim Sriwijaya di Sumatra.
Kesaksian awal tentang
kepulauan Nusantara terlacak dari Kekhalifahan Abbasiyah, menurut kesaksian awal
tersebut, kepulauan Nusantara adalah terkenal di antara pelautMuslim terutama karena kelimpahan
komoditas perdagangan rempah-rempah berharga seperti Pala, Cengkeh, Lengkuas dan banyak lainnya.[3]
Kehadiran Muslim asing di
Nusantara bagaimanapun tidak menunjukkan tingkat konversi pribumi Nusantara ke
Islam yang besar atau pembentukan negara Islam pribumi di Nusantara.[1]:3 Bukti yang paling dapat
diandalkan tentang penyebaran awal Islam di Nusantara berasal dari tulisan di
batu nisan dan sejumlah kesaksian peziarah. Nisan paling awal yang terbaca
tertulis tahun 475 H (1082 M), meskipun milik seorang
Muslim asing, ada keraguan apakah nisan tersebut tidak diangkut ke Jawa di masa
setelah tahun tersebut. Bukti pertama Muslim pribumi Nusantara berasal dari Sumatera Utara, Marco
Polo dalam perjalanan pulang dari China pada tahun 1292, melaporkan setidaknya
satu kota Muslim,[4] dan bukti pertama tentang
dinasti Muslim adalah nisan tertanggal tahun 696 H (1297 M), dari Sultan Malik al-Saleh, penguasa Muslim pertama
Kesultanan Samudera
Pasai,
dengan batu nisan selanjutnya menunjukkan diteruskannya pemerintahan Islam.
Kehadiran sekolah pemikiran Syafi'i, yang kemudian mendominasi
Nusantara dilaporkan oleh Ibnu
Battutah,
seorang peziarah dari Maroko, tahun 1346.
2. Menurut wilayah
Pada awalnya sejarawan
meyakini bahwa Islam menyebar di masyarakat Nusantara dengan cara yang umumnya
berlangsung damai, dan dari abad ke-14 sampai akhir abad ke-19 Nusantara
melihat hampir tidak ada aktivitas misionaris Muslim terorganisir.[5] Namun klaim ini kemudian
dibantah oleh temuan sejarawan bahwa beberapa bagian dari Jawa, seperti Suku
Sunda di Jawa
Barat dan kerajaan Majapahit diJawa
Timur ditaklukkan oleh Muslim Jawa. Kerajaan Hindu-Buddha
Sunda Pajajaran ditaklukkan oleh kaum
Muslim di abad
ke-16,
sedangkan bagian pesisir-Muslim dan pedalaman Jawa Timur yang Hindu-Buddha
sering berperang.[1]:8 Penyebaran terorganisir
Islam juga terbukti dengan adanya Wali
Sanga (sembilan orang suci) yang diakui mempunyai
andil besar dalam Islamisasi Nusantara secara sistematis selama periode ini. [1]:8[6]

Didirikan sekitar awal abad ke-15 , negara
perdagangan Melayu Kesultanan
Malaka (sekarang bagian Malaysia) didirikan oleh Sultan Parameswara, adalah, sebagai pusat
perdagangan paling penting di kepulauan Asia Tenggara, pusat kedatangan Muslim
asing, dan dengan demikian muncul sebagai pendukung penyebaran Islam di
Nusantara. Parameswara sendiiri diketahui telah dikonversi ke Islam, dan mengambil nama Iskandar Shah setelah kedatangan Laksamana Cheng
Ho yang merupakan Suku
Hui muslim dari negeri China. Di Malaka dan di
tempat lain batu-batu nisan bertahan dan menunjukkan tidak hanya penyebaran
Islam di kepulauan Melayu, tetapi juga sebagai agama dari sejumlah budaya dan
penguasa mereka pada akhir abad ke-15.


Pembentukan
kerajaan-kerajaan Islam lebih lanjut di Utara pulau Sumatera didokumentasikan
oleh kuburan-kuburan akhir abad ke-15 dan ke-16 termasuk sultan pertama dan
kedua Kesultanan
Pedir (sekarang Pidie), Muzaffar Syah, dimakamkan 902 H (1497 M)
dan Ma'ruf Syah, dimakamkan 917 H (1511
M). Kesultanan
Aceh didirikan pada awal abad ke-16 dan kemudian
akan menjadi negara yang paling kuat di utara Pulau Sumatra dan salah satu yang
paling kuat di seluruh kepulauan Melayu. Sultan pertama Kesultanan Aceh adalah Ali Mughayat Syah yang nisannya bertanggal
tahun 936 H (1530 M).
Buku ahli pengobatan Portugis Tome
Pires yang mendokumentasikan pengamatannya atas
Jawa dan Sumatera dari kunjungannya tahun 1512-1515, dianggap salah satu sumber
yang paling penting tentang penyebaran Islam di Nusantara. Pada saat tersebut,
menurut Piers, kebanyakan raja di Sumatera adalah Muslim, dari Aceh dan ke
selatan sepanjang pantai timur kePalembang, para penguasanya adalah
Muslim, sementara sisi selatan Palembang dan di sekitar ujung selatan Sumatera
dan ke pantai barat, sebagian besar bukan. Di kerajaan lain Sumatera, seperti Pasaidan Minangkabau penguasanya adalah Muslim
meskipun pada tahap itu warga mereka dan orang-orang di daerah tetangga bukan.
Bagaimanapun, dilaporkan oleh Pires bahwa agama Islam terus memperoleh penganut
baru.
Setelah kedatangan
rombongan kolonial Portugis dan ketegangan yang
mengikuti tentang kekuasaan atas perdagangan rempah-rempah, Sultan Aceh Alauddin al-Kahar (1539-1571) mengirimkan
dutanya ke Sultan Kesultanan Utsmaniyah, Suleiman
I tahun 1564, meminta dukungan Utsmaniyah
melawan Kekaisaran Portugis. Dinasti Utsmani kemudian
dikirim laksamana mereka, Kurtoğlu Hızır Reis. Dia kemudian berlayar
dengan kekuatan 22 kapal membawa tentara, peralatan
militer dan perlengkapan lainnya. Menurut laporan yang ditulis oleh Laksamana
Portugis Fernão
Mendes Pinto,
armada Utsmaniyah yang pertama kali tiba di Aceh terdiri dari beberapa orang Turki dan kebanyakan Muslim dari pelabuhan Samudera Hindia.[7]


Ricklefs (1991) berpendapat
bahwa batu-batu nisan Jawa timur ini, berlokasi dan bertanggal di wilayah non-pesisir
Majapahit, meragukan pandangan lama bahwa Islam di Jawa berasal dari pantai dan
mewakili oposisi politik dan agama untuk kerajaan Majapahit. Sebagai sebuah
kerajaan dengan kontak politik dan perdagangan yang luas, Majapahit hampir
pasti telah melakukan kontak dengan para pedagang Muslim, namun kemungkinan
adanya abdi
dalem keraton yang berpengalaman untuk tertarik
pada agama kasta pedagang masih sebatas dugaan.
Sebaliknya, guru Sufi-Islam yang dipengaruhi mistisisme dan mungkin mengklaim
mempunyai kekuatan gaib, lebih mungkin untuk diduga sebagai agen konversi agama
para elit istana Jawa yang sudah lama akrab dengan aspek mistisisme Hindu dan
Buddha.[1]:5
Pada awal abad ke-16, Jawa
Tengah dan Jawa Timur, daerah di mana suku
Jawa hidup, masih dikuasai oleh raja Hindu-Buddha
yang tinggal di pedalaman Jawa Timur di Daha (sekarang Kediri). Namun daerah pesisir
seperti Surabaya, telah ter-Islamisasi dan
sering berperang dengan daerah pedalaman, kecuali Tuban, yang tetap setia kepada
raja Hindu-Buddha. Beberapa wilayah di pesisir tersebut adalah wilayah penguasa
Jawa yang telah berkonversi ke Islam, atau wilayah Tionghoa Muslim, India, Arab dan Melayu yang menetap dan mendirikan
negara perdagangan mereka di pantai. Menurut Pires, para pemukim asing dan
keturunan mereka tersebut begitu mengagumi budaya Hindu-Buddha Jawa sehingga
mereka meniru gaya tersebut dan dengan demikian mereka menjadi
"Jawa". Perang antara Muslim-pantai dan Hindu-Buddha-pedalaman ini
juga terus berlanjut lama setelah jatuhnya Majapahit oleh Kesultanan Demak, bahkan permusuhan ini
juga terus berlanjut lama setelah kedua wilayah tersebut mengadopsi Islam.[1]:8
Kapan orang-orang di pantai
utara Jawa memeluk Islam tidaklah jelas. Muslim Tionghoa, Ma
Huan,
utusan Kaisar
Yongle,[4] mengunjungi pantai Jawa
pada 1416 dan melaporkan dalam
bukunya, Ying-yai Sheng-lan: survei umum pantai
samudra (1433), bahwa hanya ada tiga jenis orang di
Jawa: Muslim dari wilayah barat Nusantara, Tionghoa (beberapa adalah Muslim)
dan Jawa yang bukan Muslim.[9] Karena batu-batu nisan Jawa
Timur adalah dari Muslim Jawa lima puluh tahun sebelumnya, laporan Ma Huan
menunjukkan bahwa Islam mungkin memang telah diadopsi oleh sebagian abdi dalem
istana Jawa sebelum orang Jawa pesisir.
Sebuah nisan Muslim
bertanggal 822 H (1419 M) ditemukan di Gresik, pelabuhan di Jawa Timur
dan menandai makam Maulana Malik Ibrahim. Namun bagaimanapun, dia
adalah orang asing non-Jawa, dan batu nisannya tidak memberikan bukti konversi
pesisir Jawa. Namun Malik Ibrahim, menurut tradisi Jawa adalah salah satu dari
sembilan rasul Islam di Jawa (disebut Wali
Sanga)
meskipun tidak ada bukti tertulis ditemukan tentang tradisi ini. Pada abad
ke-15-an, Kerajaan Majapahit yang kuat di Jawa berada di
penurunan. Setelah dikalahkan dalam beberapa pertempuran, kerajaan Hindu terakhir di Jawa jatuh di
bawah meningkatnya kekuatan Kesultanan
Demak pada tahun 1520.

Suma Oriental ("Dunia Timur")
yang ditulis Tome
Pires melaporkan juga bahwa Suku
Sunda di Jawa
Barat bukanlah Muslim di zamannya, dan memang
memusuhi Islam.[1] Sebuah penaklukan oleh
Muslim di daerah ini terjadi pada abad ke-16. Dalam studinya tentang Kesultanan Banten, Martin van Bruinessen berfokus pada hubungan
antara mistik dan keluarga kerajaan, mengkontraskan bahwa proses Islamisasi
dengan yang yang berlaku di tempat lain di Pulau Jawa: "Dalam kasus
Banten, sumber-sumber pribumi mengasosiasikan "tarekat" tidak dengan
perdagangan dan pedagang, tetapi dengan raja, kekuatan magis dan legitimasi
politik."[10] Ia menyajikan bukti bahwa Sunan Gunungjati diinisiasi ke dalam aliran
"Kubra", "Shattari", dan "Naqsyabandiyah" dari sufisme.

Tidak ada bukti dari
penerapan Islam oleh orang Nusantara sebelum abad ke-16 di daerah luar Pulau
Jawa, Pulau Sumatera, Kesultanan Ternate dan Tidore di Maluku, dan Kesultanan Brunei danSemenanjung Melayu.
3. Legenda Nusantara dan Melayu
Meskipun kerangka waktu
bagi masuknya Islam di wilayah Indonesia dapat ditentukan secara luas,
sumber-sumber utama sejarah tidak bisa menjawab banyak pertanyaan yang
spesifik, sehingga kontroversi terus mengelilingi topik ini. Sumber-sumber
seperti tidak menjelaskan mengapa konversi signifikan orang pribumi Nusantara
menjadi Islam tidak dimulai hingga beberapa abad bahkan setelah para Muslim
asing mengunjungi dan tinggal di Nusantara. Sumber-sumber ini juga tidak cukup
menjelaskan asal usul dan perkembangan "aliran" istimewa Islam di
Nusantara, atau bagaimana Islam menjadi agama yang dominan di Nusantara.[1]:8 Untuk mengisi kekosongan
celah sejarah ini, banyak peneliti mencari referensi ke legenda-legenda Melayu
dan Nusantara tentang konversi pribumi Nusantara ke Islam.
Ricklefs berpendapat bahwa
meskipun legenda-legenda ini bukanlah catatan historis yang dapat diandalkan
tentang peristiwa yang sebenarnya, legenda-legenda ini berharga dalam memberi
titik terang mengenai beberapa peristiwa, melalui wawasan mereka yang tersebar
di masyarakat, ke dalam sifat pembelajaran dan kekuatan magis, latar belakang
asing dan hubungan perdagangan para guru Islam awal, dan proses konversi yang
bergerak dari atas (golongan elit keraton) ke bawah. Legenda ini juga
memberikan wawasan tentang bagaimana generasi muda Nusantara (Indonesia) melihat proses Islamisasi
ini.[1]:8–11 Sumber-sumber ini termasuk:
·
Hikayat Raja-raja Pasai - sebuah teks Bahasa Melayu Kuno yang menceritakan bagaimana
Islam datang ke negeri "Samudra" (Kesultanan Samudera Pasai, sekarang di Aceh) di mana Kerajaan Islam di
Nusantara yang pertama didirikan.
·
Sejarah
Melayu - teks Bahasa Melayu Kuno, yang seperti juga Hikayat Raja-raja Pasai menceritakan kisah konversi
Samudra, tetapi juga bercerita tentang konversi Raja Malaka (Parameswara).
·
Babad
Tanah Jawi - nama generik yang digunakan untuk sejumlah
besar manuskrip, di mana konversi ke dalam bahasa Jawa yang pertama diatributkan
pada Wali
Sanga ("sembilan orang suci").
Dari teks-teks yang disebutkan
di sini, teks-teks Melayu menggambarkan proses konversi ke Islam sebagai ritual
pelepasan yang signifikan, ditandai dengan tanda-tanda formal dan nyata dari
ritual konversi, seperti sunat, pengakuan
iman,
dan mengadopsi nama Arab. Di sisi lain, ketika peristiwa-peristiwa
magis masih memainkan peran penting dalam kesaksian Jawa tentang Islamisasi,
peristiwa magis dalam konversi ke Islam menurut kesaksian teks-teks Melayu
tidak ditemukan. Hal ini menunjukkan proses konversi Jawa ke Islam lebih
merupakan "menyerap" Islam ketimbang berpindah, [1]:9 hal ini konsisten dengan
elemen sinkretisme agama yang secara
signifikan lebih besar dalam Islam kontemporer Jawa dibandingkan terhadap Islam
yang relatif lebih ortodoks di Sumatera dan Semenanjung Malaya (sekarangMalaysia).
Arti Walisongo
Ada beberapa pendapat mengenai arti Walisongo.
Pertama adalah wali yang sembilan, yang menandakan jumlah wali yang ada
sembilan, atau sanga dalam bahasa Jawa. Pendapat lain menyebutkan bahwa kata songo/sanga berasal
dari kata tsana yang dalambahasa Arab berarti mulia. Pendapat lainnya lagi
menyebut kata sana berasal dari bahasa Jawa, yang berarti tempat.
Pendapat lain yang mengatakan bahwa Walisongo adalah
sebuah majelis dakwah yang pertama kali didirikan oleh Sunan Gresik(Maulana Malik Ibrahim) pada tahun 1404 Masehi (808 Hijriah).[1] Para Walisongo adalah pembaharu masyarakat
pada masanya. Pengaruh mereka terasakan dalam beragam bentuk manifestasi
peradaban baru masyarakat Jawa, mulai dari kesehatan, bercocok-tanam, perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan, hingga ke pemerintahan.
Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)[

Ia diperkirakan lahir
di Samarkand di Asia Tengah, pada paruh awal abad
ke-14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi,
mengikuti pengucapan lidah orang Jawa terhadap As-Samarqandy.[2] Dalam cerita rakyat, ada yang
memanggilnya Kakek Bantal.
Isteri Maulana Malik Ibrahim
Maulana Malik Ibrahim
memiliki, 3 isteri bernama: 1. Siti Fathimah binti Ali Nurul Alam Maulana
Israil (Raja Champa Dinasti Azmatkhan 1), memiliki 2 anak, bernama: Maulana
Moqfaroh dan Syarifah Sarah 2. Siti Maryam binti Syaikh Subakir, memiliki 4
anak, yaitu: Abdullah, Ibrahim, Abdul Ghafur, dan Ahmad 3. Wan Jamilah binti
Ibrahim Zainuddin Al-Akbar Asmaraqandi, memiliki 2 anak yaitu: Abbas dan Yusuf.
Selanjutnya Sharifah Sarah binti Maulana Malik Ibrahim dinikahkan dengan Sayyid
Fadhal Ali Murtadha [Sunan Santri/ Raden Santri] dan melahirkan dua putera
yaitu Haji Utsman (Sunan Manyuran) dan Utsman Haji (Sunan Ngudung). Selanjutnya
Sayyid Utsman Haji (Sunan Ngudung) berputera Sayyid Ja’far Shadiq [Sunan
Kudus].
Sunan Ampel (Raden Rahmat)

Sunan Bonang (Makhdum Ibrahim)

Sunan Drajat

Sunan Kudus

Sunan Kudus adalah putra Sunan Ngudung atau Raden Usman Haji, dengan Syarifah
Ruhil atau Dewi Ruhil yang bergelar Nyai Anom Manyuran binti Nyai Ageng Melaka
binti Sunan Ampel.Sunan Kudus adalah keturunan ke-24 dari Nabi Muhammad. Sunan Kudus bin Sunan Ngudung bin Fadhal Ali
Murtadha bin Ibrahim
Sunan Giri

Sunan Kalijaga

Sunan Muria (Raden Umar Said)

Sunan Muria atau Raden Umar Said adalah putra Sunan
Kalijaga. Ia adalah putra dari Sunan Kalijaga dari isterinya yang bernama Dewi
Sarah binti Maulana Ishaq. Sunan Muria menikah dengan Dewi Sujinah, putri Sunan
Ngudung. Jadi Sunan Muria adalah adik ipar dari Sunan Kudus.
Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah adalah putra
Syarif Abdullah Umdatuddin putra Ali Nurul Alam putra Syekh Husain Jamaluddin
Akbar. Dari pihak ibu, ia masih keturunan keraton Pajajaran melalui Nyai Rara Santang, yaitu anak
dari Sri Baduga Maharaja. Sunan Gunung Jati mengembangkan Cirebon
sebagai pusat dakwah dan pemerintahannya, yang sesudahnya kemudian
menjadi Kesultanan Cirebon. Anaknya yang bernama Maulana Hasanuddin, juga berhasil mengembangkan kekuasaan dan
menyebarkan agama Islam di Banten, sehingga kemudian menjadi cikal-bakal
berdirinya Kesultanan Banten.
Referensi
1. ^ a b c d e f g h i j k Ricklefs,
M.C. (1991). A History of Modern Indonesia since c.1300, 2nd Edition.
London: MacMillan. ISBN 0-333-57689-6.
2. ^ Taylor,
Jean Gelman (2003). Indonesia: Peoples and Histories. New Haven and
London: Yale University Press. hlm. 29–30. ISBN 0-300-10518-5.
4. ^ a b c Raden
Abdulkadir Widjojoatmodjo (November 1942). "Islam in the Netherlands East
Indies". The Far Eastern Quarterly 2 (1):
48–57. doi:10.2307/2049278. JSTOR 2049278.
7. ^ Azra,
Azyumardi (2006). Islam
in the Indonesian world: an account of institutional formation.
Mizan Pustaka. hlm. 169.
8. ^ Damais,
Louis-Charles, 'Études javanaises, I: Les tombes musulmanes datées de
Trålåjå.' BEFEO, vol. 54 (1968), pp. 567-604.
9. ^ Ma
Huan’s, Ying-yai Sheng-lan: The overall survey of the ocean's shores'
(1433). Ed. and transl. J.V.G. Mills. Cambridge: University Press,
1970
10. ^ Martin
van Bruinessen (1995). "Shari`a
court, tarekat and pesantren: religious institutions in the sultanate of Banten". Archipel 50:
165–200. doi:10.3406/arch.1995.3069.
No comments:
Post a Comment